Selasa, 25 Agustus 2009

PUASA;:Sebuah Menejemen Peningkatan Kualitas Diri

Manusia mempersepsi benda dengan ukuran-ukuran kualitas, emas diukur
dengan karat, makanan diukur dengan kandungan gizi dan rasa, pakaian
diukur dengan jenis bahan dan mode, burung diukur dengan keindahan
bulu dan kicauannya, sapi diukur dengan berat dagingnya, pokoknya
semua benda ada ukuran kualitasnya, dan dari ukuran itu ditentukan
nilai dan harganya. Lalu bagaimana dengan kualitas diri kita ?

Kualitas Manusia
Manusia adalah makhluk yang mempunyai dua dimensi,; lahir dan batin,
fisik dan psikis, jasmani dan rohani, maka kualitas manusia juga
diukur dari dua dimensi. Kualitas fisik manusia disebut dengan
sebutan ayu, ganteng, kuat atau lemah. Sedangkan kualitas ruhani
manusia disebut dengan sebutan-sebutan lembut, halus, baik, jahat,
jujur, pemaaf, sombong, cerdas, dungu dan lain sebagainya.

Kulitas Manusia Menurut al Qur'an.
Al qur'an mengintrodusir banyak istilah merujuk kepada kualitas diri
manusia, seperti muslim, mu`min, muttaqin, mukhlish, muhsin, shalih,
shabur dan halim, disamping kafir, musyrik, fasiq, munafiq, zalim dan
jahil. Al Qur'an mengisyaratkan bahwa pada dasarnya manusia memiliki
potensi menjalankan kebaikan dengan mudah (laha ma kasabat) dan harus
bersusah payah melawan dirinya untuk berbuat jahat (wa `alaiha ma
iktasabat). Akan tetapi daya tarik keburukan lebih kuat dibanding
daya tarik kebaikan. Nabi menggambarkan dengan permisalan; surga itu
dikelilingi oleh hal-hal yang tidak menarik (mahfufat bi al makarih)
sementara neraka dikelilingi oleh hal-hal yang menarik ( mahfufah bi
as syahawat) Oleh karena itu untuk bisa membangun kualitas diri,
manusia harus bisa meminij dengan baik agar antara potensi, godaan
dan peluang bisa disinergikan kearah kesempurnaan diri. Manusia
memiliki hak ikhtiar untuk mencapai kualitas dirinya. Manusia diberi
kebebasan untuk menjadi mu`min atau menjadi kafir (faman sya`a fal
yu'min waman sya'a fal yakfur)

Perangkat Diri
Manusia oleh Alloh SWT diberi perangkat diri yang memungkinkan
meminij hidup hingga mencapai tingkat integritas yang tinggi, yaitu
Akal, Hati, Hati Nurani, syahwat dan Hawa nafsu.

Akal (`aql) adalah problem solving capacity, yang dengan akal manusia
bisa mengatasi masalah, bisa menemukan kebenaran tetapi bukan
menentukan kebenaran. Kerja akal adalah berfikir.

Hati (qalb) adalah alat untuk memahami realita. Hal-hal yang tidak
rationil bisa difahami oleh hati. Dengan bekerjasama dengan akal,
hati bisa melakukan tafakkur. Hati bertindak sebagai "perdana
menteri" dalam "cabinet" kejiwaan manusia, oleh karena itu hanya
perbuatan yang disadari oleh hati yang berimplikasi kepada pahala dan
dosa. Hanya saja, sesuai dengan namanya qalb, hati memiliki karakter
tidak konsisten, bisa berubah-ubah.

Hati nurani (alqur'an menyebutnya bashirah) adalah cahaya (nur) Alloh
SWT yang ditempatkan didalam hati (nurun yaqdzifuhulloh fi al qalb).
Nurani memiliki hotline dengan Tuhan, oleh karena itu nurani
konsisten jujur, tidak bisa diajak kompromi dengan kebohongan. Hanya
saja cahaya nurani bisa tertutup oleh keserakahan dan kemaksiatan.
Oleh karena itu orang serakah dan pendosa nuraninya mati. Hati Nurani
bersinerji dengan akal dan hati, membuat manusia bukan saja
bertafakkur, tapi bahkan bisa melakukan tadabbur.

Syahwat adalah dorongan kepada apa saja yang diinginkan (nuzu` annafs
ila ma turiduhu) atau dalam psikologi disebut motiv atau penggerak
tingkah laku. Syahwat bersifat netral dan manusiawi, oleh karena itu
menunaikan syahwat dengan mengikuti tuntunan agama menjadi ibadah.
Sebaliknya ngumbar syahwat bisa meluncur ke dorongan hawa nafsu dan
perbuatan mksiat dan dosa.

Hawa nafsu merupakan syahwat rendah, yakni penunaian syahwat yang
tidak memperdulikan nilai 2 moralitas dan akibat.

Lima Perangkat kejiwaan inilah yang bekerja merespon stimulus,
mempersepsi, mempertimbangkan, dan memutuskan. Dengan perangkat itu
manusia bisa berfikir, bertafakkur (merenung) dan bertadabbur. Jika
manusia lebih mengikuti akalnya maka ia hidup rationil, jika lebih
menggunakan hatinya maka ia perasa, jika mengikuti nuraninya maka
pilihannya pasti tepat, jika ngumbar nafsu maka ia cenderung hedonis
dan jika lebih mengikuti hawa nafsu maka ia pasti tersesat dan
keputusannya keliru.

Puasa Sebagai Menejemen Spiritual
Puasa tidak sama dengan orang kelaparan. Orang kelaparan terpaksa
tidak makan minum karena tidak ada yang bisa dimakan atau diminum,
sedangkan orang berpuasa secara sadar meninggalkan makan minum
sebagai bentuk pengendalian diri karena adanya perintah Alloh SWT.
Orang kelaparan adalah wujud kelemahan, sedangkan orang berpuasa
merupakan wujud kekuatan. Hanya orang kuat yang bisa mengendalikan
dirinya untuk tidak makan minum padahal ia ingin dan makanan
tersedia.

Oleh karena itu puasa bukanlah aktifitas fisik, tetapi aktifitas
spiritual, karena yang bekerja jiwanya. Oleh karena itu kualitas
puasa juga diukur secara spiritual, bukan materialnya. Ada tiga
ranking kualitas puasa; awam (tingkat dasar), khusus (tingkat
menengah)dan super khusus (tingkat tinggi). Orang awam hanya mulutnya
yang puasa yakni meninggalkan makan minum, sedangkan orang khusus
mulutnya juga berpuasa dari kata-kata yang tidak perlu, matanya
berpuasa dari melihat yang dilarang, telinganya berpuasa dari
mendengar yang tidak berguna, dan seluruh anggauta badannya juga
berpuasa dari melakukan hal yang dilarang dan yang tidak berguna.

Jadi puasa merupakan pekerjaan menejemen kejiwaan, mensinergikan
fungsi-fungsi akal, hati, hati nurani, syahwat dan hawa nafsu. Jika
seseorang berhasil menjalankan puasa pada tingkat karakteristk puasa
orang khusus maka puasanya akan berdampak pada pembentukan integritas
diri. Sedangkan puasa super khusus, itu tidak relefan dengan kita.
Puasa jenis ini adalah puasanya para Nabi dan para wali, karena yang
puasa bukan hanya mulut dan anggauta badan, hatinyapun berpuasa dari
ingatan selain Alloh SWT. Bayangkan Selama 14 jam, di dalam hati para
nabi dan wali hanya ada Alloh SWT, tidak ada ingatan yang lain. Kita,
jangankan 14 jam, selama salat yang hanya empat menitpun tidak bisa
full mengingat Alloh SWT.

Banyak diantara kita yang malah selama empat rokaat salat, hatinya
bukannya ke Alloh SWT yang diucapkan dalam bacaan salat, tetapi
malah berwisata hingga berhasil mengunjungi empat obyek pariwisata.
Dari itu maka Nabi mengingatkan bahwa; banyak orang puasa tapi mereka
tidak memperoleh apa-apa selain lapar dan haus (rubba sho'imin laisa
hadzzuhu illa al ju` wa al `athos) seperti juga banyak orang salat
malam tapi tak memperoleh apa-apa selain lelah dan kantuk (rubba
qo'imin laisa hadzzyhu illa assahr waat ta`ab). Wallohu a`lam.
(By Agus Syafii)

0 komentar: